WHAT’S HOT NOW

ads header

ARSIP KEGIATAN LKS JALADRI NUSANTARA

LKS JALADRI NUSANTARA

PONPES DARUL FALIHIN

SMA ISLAM TEJA BUANA

SANTUANAN YATIM DAN DUAFA

Ucapan Terimakasih

Jangan lupa ucapkan terima kasih, lebih-lebih lagi sambil mendoakan.

Terima kasih terdiri atas dua kata, tetapi satu makna. Terima berarti kita mendapatkan sesuatu yang bernilai baik bagi kita. Sebagai ungkapan rasa syukur kita kasih atau memberikan sesuatu terhadap orang yang sudah memberi kita.

Seorang penulis buku motivasi berkata:

Setiap kali Anda berterima kasih kepada orang lain atas apa pun yang dia katakan atau lakukan, harga dirinya akan semakin bertambah. Dia lebih menyukai dan menghormati diri sendiri. Dia merasa lebih bahagia. Dia lalu menjadi terbuka untuk melakukan lebih banyak hal yang membuat Anda senang, sehingga membuat Anda berterima kasih padanya lagi. (Master Your Time, Master Your Life, Brian Tracy, hlm. 189)
Balas Budi Orang Lain
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

“Tidak dikatakan bersyukur kepada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih kepada manusia.” (HR. Abu Daud, no. 4811 dan Tirmidzi, no. 1954. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Balas budi tersebut mulai dari yang sedikit.

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667).

Ucapkan Jazakallah Khairan
Dalam Islam sebenarnya diajarkan lebih lagi, bukan hanya mengucapkan terima kasih, bahkan mendoakan agar orang yang berbuat baik dibalas dengan kebaikan.

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ، فَقَالَ لِفَاعِلهِ : جَزَاكَ اللهُ خَيْراً ، فَقَدْ أَبْلَغَ فِي الثَّنَاءِ

“Barangsiapa yang diperlakukan baik, lalu ia mengatakan kepada pelakunya, ‘Jazakallahu khairan (artinya: Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan)’, maka sungguh ia telah sangat menyanjungnya.” (HR. Tirmidzi. Ia berkata bahwa hadits ini hasan sahih) [HR. Tirmidzi, no. 2035 dan An-Nasai dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, 180; juga dari jalur Ibnu As-Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, no. 275; Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, 2:148. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih, perawinya tsiqqah).

Dari Jabir bin Abdillah Al Anshary radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرْوُفٌ فَلْيُجْزِئْهُ، فَإِنْ لَمْ يُجْزِئْهُ فَلْيُثْنِ عَلَيْهِ؛ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ، وَمَنْ تَحَلَّى بَمَا لَمْ يُعْطَ، فَكَأَنَّمَا لَبِسَ ثَوْبَيْ زُوْرٍ

“Siapa yang memperoleh kebaikan dari orang lain, hendaknya dia membalasnya. Jika tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah dia memuji orang tersebut, karena jika dia memujinya maka dia telah mensyukurinya. Jika dia menyembunyikannya, berarti dia telah mengingkari kebaikannya. Seorang yang berhias terhadap suatu (kebaikan) yang tidak dia kerjakan atau miliki, seakan-akan ia memakai dua helai pakaian kepalsuan.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 215, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

Dalam Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah (5:322) disebutkan bahwa ‘Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu berkata,

لو يعلم أحدكم ما له في قوله لأخيه : جزاك الله خيرا ، لأَكثَرَ منها بعضكم لبعض

“Seandainya salah seorang di antara kalian tahu akan baiknya doa “Jazakallahu khoiron (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan) tentu ia akan terus mendoakan satu dan lainnya.”

Dalam Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah mengatakan, “Membalas jasa orang lain tergantung pada keadaannya. Bentuk balas budi kadang ada yang dengan memberi yang semisal atau lebih dari itu. Bentuk lainnya bisa pula dengan mendoakannya dan tidak suka bila dibalas dengan materi. Karena ada orang yang terpandang yang memiliki harta melimpah dan punya kedudukan yang mulia ketika ia memberi hadiah lalu dibalas dengan semisal, ia menganggap itu merendahkannya. Yang ia inginkan adalah doa, maka doakanlah ia. Terus doakan sampai yakin telah membalasnya. Di antara bentuk doanya adalah mengucapkan jazakallah khoiron (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan). Karena kalau didoakan dengan kebaikan, itu sudah menjadi kebahagiaan di dunia dan akhirat.”

kebaikan jangan di ungkit


Di antara bentuk penyakit dan maksiat lisan (lidah) adalah mengungkit-ungkit pemberian kepada orang lain. Misalnya seseorang mengatakan kepada temannya, “Bukankah dulu aku yang telah memenuhi kebutuhanmu saat kamu kesusahan, mengapa sekarang melupakanku?” atau kalimat-kalimat semacam itu.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian batalkan (pahala) sedekah kalian dengan mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti (yang diberi).” (QS. Al-Baqarah [2]: 264)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala jelaskan bahwa perbuatan suka mengungkit-ungkit pemberian yang telah disedekahkan atau dihadiahkan kepada orang lain itu dapat membatalkan (menghapuskan) pahala. Dan perbuatan suka mengungkit-ungkit pemberian menunjukkan kurangnya iman orang tersebut. Karena dalam ayat di atas, Allah Ta’ala awali dengan “Wahai orang-orang yang beriman … “. Dengan kata lain, tuntutan atau konsekuensi dari keimanan kepada Allah Ta’ala adalah tidak melakukan hal yang demikian itu.

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنّاً وَلا أَذىً لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 262)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan mengajak mereka bicara pada hari kiamat, tidak melihat mereka, tidak mensucikan dosanya dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih.”

Abu Dzar berkata lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sampai tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka gagal dan rugi, siapakah mereka wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

“Orang yang melakukan isbal (memanjangkan sarungnya sampai melebihi mata kaki, pent.), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang (berusaha) membuat laku barang dagangan dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 106)

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, di antara bentuk dosa dan maksiat lisan adalah suka mengungkit-ungkit pemberian atau sedekah yang telah dia berikan kepada orang lain. Dan perbuatan ini termasuk dosa besar, karena terdapat ancaman khusus dari syariat. Ancaman pertama, dibatalkannya pahala (sebagaimana dalam ayat). Juga ancaman yang terdapat dalam hadits. Sehingga disimpulkan bahwa perbuatan tersebut adalah dosa besar sebagaimana kaidah yang disampaikan oleh para ulama bahwa setiap dosa yang memiliki ancaman khusus, maka digolongkan dalam dosa besar.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsamin rahimahullah mengatakan,

أن المن والأذى بالصدقة كبيرة من كبائر الذنوب؛ وجه ذلك: ترتيب العقوبة على الذنب يجعله من كبائر الذنوب

“Perbuatan mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti dalam melakukan sedekah (pemberian) [1] termasuk dalam dosa besar. Sisi pendalilannya, karena disebutkannya hukuman setelah menyebutkan dosa (tertentu) menjadikan dosa tersebut sebagai dosa besar.” (Tafsir Surat Al-Baqarah, Asy-Syamilah

Catatan kaki:

[1] Di antara bentuk perbuatan “menyakiti” dalam melakukan pemberian adalah memberikan sedekah dengan cara dilempar sehingga orang yang diberi sedekah tampak dihinakan.



Jangan terlalu banyak

Memang betul terlalu kenyang, kadang ketika kenyang kita akan semakin malas dalam beraktivitas dan juga dalam ibadah. Ketika kenyang kita pun akan lebih senang untuk merebahkan badan untuk tidur daripada bergerak dan beraktivitas. Imam Syafi’i adalah di antara ulama yang memberi contoh pada kita agar bersikap sederhana dalam makan.

Nasehat Imam Syafi’i rahimahullah yang kami maksud adalah sebagai berikut.

Abu ‘Awanah Al Isfiroyaini berkata bahwa Ar Robi berkata bahwa ia mendengar Imam Asy Syafi’i berkata,

ما شبعت منذ ست عشرة سنة إلا مرة، فأدخلت يدي فتقيأتها

“Aku tidaklah pernah kenyang selama 16 tahun kecuali sekali. Ketika kenyang seperti itu aku memasukkan tanganku (dalam mulut) agar aku bisa memuntahkan (makanan di dalam).”

Ibnu Abi Hatim dari Ar Robi’ menambahkan (perkataan Imam Syafi’i),

لان الشبع يثقل البدن، ويقسي القلب، ويزيل الفطنة، ويجلب النوم، ويضعف عن العبادة

“Karena yang namanya kenyang membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, kecerdasan berkurang, lebih banyak tidur dan malas ibadah.” (Siyar A’lamin Nubala, 10: 36)

Mengenai hadits yang menganjurkan makan sebelum kenyang sebenarnya dho’if. Akan tetapi maknanya benar dan bisa diamalkan. Dan sebenarnya makan sampai kenyang tidaklah masalah ketika tidak sampai menimbulkan bahaya.

Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya: Bagaimana keshahihan hadits berikut:

نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع

Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.“

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab:

Hadits ini memang diriwayatkan dari sebagian sahabat yang bertugas sebagai utusan, namun sanadnya dhaif. Diriwayatkan bahwa para sahabat tersebut berkata dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:

نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع

“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang“

Maksudnya yaitu bahwa kaum muslimin itu hemat dan sederhana.

Maknanya benar, namun sanadnya dho’if, silakan periksa di Zaadul Ma’ad dan Al Bidayah Wan Nihayah. Faidahnya, bahwa seseorang baru makan sebaiknya jika sudah lapar atau sudah membutuhkan. Dan ketika makan, tidak boleh berlebihan sampai kekenyangan. Adapun rasa kenyang yang tidak membahayakan, tidak mengapa. Karena orang-orang di masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan masa selain mereka pun pernah makan sampai kenyang. Namun mereka menghindari makan sampai terlalu kenyang. Terkadang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengajak para sahabat ke sebuah jamuan makan. Kemudian beliau menjamu mereka dan meminta mereka makan. Kemudian mereka makan sampai kenyang. Setelah itu barulah shallallahu’alaihi wa sallam makan beserta para sahabat yang belum makan.

Terdapat hadits, di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, ketika sedang terjadi perang Khondaq, Jabir bin Abdillah Al Anshari mengundang Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk memakan daging sembelihannya yang kecil ukurannya beserta sedikit gandum. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengambil sepotong roti dan daging, kemudian beliau memanggil sepuluh orang untuk masuk dan makan. Mereka pun makan hingga kenyang kemudian keluar. Lalu dipanggil kembali sepuluh orang yang lain, dan demikian seterusnya. Allah menambahkan berkah pada daging dan gandum tadi, sehingga bisa cukup untuk makan orang banyak, bahkan masih banyak tersisa, hingga dibagikan kepada para tetangga.

Dan suatu hari, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyajikan susu pada Ahlus Shuffah (salah satunya Abu Hurairah, pent). Abu Hurairah berkata, “Aku minum sampai puas”. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ayo minum lagi, Abu Hurairah“. Maka aku minum. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ayo minum lagi“. Maka aku minum lagi. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ayo minum lagi“. Maka aku minum lagi, lalu aku berkata “Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak lagi aku dapati tempat untuk minuman dalam tubuhku”. Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengambil susu yang tersisa dan meminumnya. Semua ini adalah dalil bolehnya makan sampai kenyang dan puas yang wajar, selama tidak membahayakan. (Sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/38)[1]

Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah (7: 1651-1652) berkata bahwa hadits “Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang“ adalah  ‘laa ashla lahu’ (tidak ada asalnya). Istilah ‘laa ashla lahu’ dalam mustholah hadits ada dua makna: (1) tidak ada sanadnya, (2) memiliki sanad tetapi tidak shahih.[2]

Sebaik-baik muslim adalah yang bersikap sederhana dalam makan dan keuntungan atau manfaatanya sangat luar biasa sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Syafi’i.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ Islamic Center Bathah, Riyadh, KSA, 25 Rajab 1433 H


[1] Dinukil dari tulisan saudara Yulian

[2] Lihat di sini: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/archive/index.php/t-49898.html

Tinggalkan Yang Melalaikan


Hadist ini mengingatkan kepada kita agar menggunaka waktu dengan bijak. Dalam sebuah pepatah menyatakan ( waktu ibarakan pedang apabila tidak bisa digunakan untuk memotong maka diasendiri yang akan ditebas
Melihat dari pepatah Tersebut mengingatkan kepada kita jangan kan hal yang Haram yang makruh sekalipun tidak usah dilaksanakan.. Itulah ajaran yang di terapkan agar seluruh muslim dapat memaksimalkan waktu, kesempatan,  untuk diisi dengan kegiatan yang positif
*Banyak sekali prilaku yang tidak disukai dan bentuknya termasuk  menyia-nyiakan* berikut belalaikan.
Sahabat coba beri kan samping prilaku yang termasuk menyia-nyiakan dan melalaikan 
1. 
2. 
3.
4.
Semoga kita bisa merubah dan mengis dengan yang baik  dan selalu terhindar dari keburukan yang abadi.